pages

Sunday, March 10, 2013

Chocolate Desperate

Disclaimer 

Hetalia Axis Powers : belongs to Hidekaz Himaruya
Genre : Romance, Angst
This fic : belongs to me

Start .

   14 Februari. Tanggal yang pastinya selalu diingat oleh para gadis. Hari Valentine, Kasih Sayang, atau apapun itu sebutannya. Toko-toko di pinggir jalan memasang hiasan berbentuk hati, berwarna pink, atau merah. Penjual coklat mengambil banyak keuntungan hari itu. Semua pasangan tersenyum cerah, dengan pipi merona tiap gadis di ujung kota. Coklat berbentuk hati mereka genggam dengan erat.

   Hari yang dipenuhi dengan cinta.

   Tapi, gadis yang kutemui pagi tadi tidak terlihat bahagia. Kulihat dengan jelas sebutir air mata keluar dari mutiara hijaunya. Dia memang lari melewatiku, tapi aku tetap bisa mencium aroma harum dari rambut cappucino-nya. Wajahnya cantik.

   Aku tahu, aku tidak boleh jatuh cinta padanya.

   Namaku Gilbert Beilschmidt. Status masih single. Single nya bukan karena tidak ada gadis yang mau bersamaku, namun karena aku masih menunggu waktu yang tepat. Kedua sahabatku memang sudah mempunyai kekasih, tapi aku tidak iri. Karena aku tahu, aku bisa mendapatkan gadis yang lebih hebat daripada gadis mereka.

   "Gil', bisa temenin gue beli coklat ga? Mau gue kasih ke Bella." Laki-laki berambut coklat itu tersenyum padaku. "Oke, tapi traktir gue makan siang ya. Duit gue dikuras habis gara-gara Eliza minta dibeliin coklat persahabatan." Poor Gilbert. Dipaksa beli coklat persahabatan sama gebetannya sendiri.

   "Beres, Mr. Prussen" Antonio--laki laki yang berambut coklat itu--membalas dengan cengiran.

   "Hey, mon ami. Pada mau kemana nih? Kok gue ga diajak? Udah pada ga sehati nih!" Ini sahabat gue yang paling alay. Rambutnya pirang, punya jenggot, dan sering menggoda manusia. Baik perempuan ataupun laki-laki dia gombalin.

   "Beli coklat. Mau ikut, eh, Francis?" Antonio memasukan buku pelajaran ke dalam tas miliknya.

   "Coklat? Oh iya, hari ini Valentine! Ikut dong~ Gue juga mau beli buat Sey-chan~"

   "Ya udah. Siap-siap gih." Aku mengambil tasku dan menunggu Francis membereskan miliknya.

***

   "Selamat datang. Wah-wah, pemuda seperti kalian pasti ingin membeli coklat untuk pasangan kalian. Silahkan dipilih. Coklat kami semuanya adalah coklat terbaik di kota" Ibu penjual coklat itu tersenyum ramah pada kami. Toko coklat itu memang sudah terkenal dengan kemanisannya.

  "Uhhn........ Bella suka coklat yang gimana yaa?"

  "Memangnya, gadis anda seperti apa? Maksudnya, dia tipe yang ceria, pemalu, atau bagaimana?" Ibu itu mendekati Antonio.

   "Dia manis, imut dan enerjik. Dia suka kucing dan waffle"

   Si Penjual Coklat tersenyum, dan mengambil sebuah coklat di lemari yang besar. Yang dia berikan pada Antonio adalah coklat berbentuk kotak dan terdapat empat coklat putih berbentuk hati di dalamnya.

   "Ini coklat susu. Coklat putih itu bisa dilepas, kemudian dilelehkan dan digunakan sebagai pemanis waffle. Itulah yang biasanya digunakan oleh suamiku." Ia memandang lembut Antonio.

   "Woah. Terimakasih banyak, 'Bu. Aku beli yang ini saja."

   Kulihat Antonio sudah pergi membayar. Aku mencari Francis. Untunglah dia masih sibuk mencari coklat berbentuk bunga mawar.

   Aku keliling melihat-lihat. Sebuah coklat berbentuk lingkaran berdiameter sepuluh sentimeter menarik perhatianku. Warnanya coklat gelap. Ada tulisannya. 'I'll be in your side. Forever, just for you, my Love'. Tulisan itu berwarna putih dan timbul. Aku hendak mengambilnya dari rak itu, ketika Francis memanggil namaku.

   "Gilbert~ Lihat ini! Lo mau beli'in Herdevary coklat persahabatan kan? Ada satu yang bagus disini!" Dengan cepat aku mengambil coklat lingkaran itu dan menyembunyikannya di jaket merahku.

   "Lihat, tulisannya sungguh menyentuh. 'Best Friend  will never leave you'. Ohonhonhon~" Kupikir tulisan itu biasa saja. Bentuk coklat itu yang menarik. Berbentuk burung kecil. Seperti peliharaanku, Gilbird.

   "Yah, setidaknya cukup murah buat Eliza. Gue ambil deh. Lo beli'in apa buat Sey?" Aku menoleh pada Francis. Ia mengeluarkan sebuah coklat berbentuk mawar dengan tempatnya yang benar-benar terlihat mahal.

   "Ini coklat ekslusif lho~ Kudapatkan dengan penuh perjuangan~ Harganya pun tidak murah!" Dasar cowok sombong nan alay.

   "Ya, ya, ya. Sekarang ke kasir yuk. Perut gue udah laper banget. Antonio janji mau traktir gue."

   Setelah Francis, aku membayar dua coklat yang kubeli itu. Ibu penjual hanya tersenyum. Kurasa ia tahu apa yang kumaksudkan dengan membeli coklat lingkaran itu. "Itu coklat yang tulus" katanya. Aku mengangguk salah tingkah.

***

   "Yah, udah dulu ya, guys. Gue mau ke rumahnya Bella. Sampai jumpa besok~" Antonio melambaikan tangannya. Senyum mataharinya belum pudar, padahal hari sudah mau malam.

   "Gilbert, aku pulang dulu ya~ Jangan sampai diculik orang. Hati-hati di jalan, ohonhonhon." Francis mengatkan kalimat perpisahan yang aneh, seperti biasanya.

   Aku menjalankan kakiku menuju arah rumah. Berharap sampai di rumah sebelum jam makan malam. Ketika rumah berwarna dasar hitam putih itu terlihat, aku mempercepat langkahku. Tiba di sana, aku melihatnya.

   Gadis yang kulihat tadi pagi di depan gerbang sekolah.

   Gadis yang tidak boleh kucintai.

   "Eliza? Kenapa kau di depan rumahku?" Aku menghamipirinya. Mukanya basah, terlihat jelas bahwa ia habis menangis.

   "Eliza? Jawab aku. Kau mengerikan kalau diam seperti ini. Eliza?" Aku mulai mengguncangkan tubuhnya.

   Ia memelukku tiba-tiba. Aku tidak mengira, Eliza akan memelukku erat seperti ini. Inikah surga?

   "...Putus. Roderich... putus denganku..." Mataku terbelalak. Pasangan yang sudah menjalani hubungan selama 1 tahun, putus di hari Kasih Sayang. Roderich dan sahabat perempuanku sejak kecil, Elizaveta Herdevary. Pasangan yang membuatku menangis seharian pada saat mereka jadian. Ketika mereka putus, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Bahagia? Tidak, bukan sekarang. Menghibur Eliza? Ya, itu jalan satu-satunya.

   "...Tidak apa-apa. Dia bodoh meninggalkan gadis sepertimu. Tenanglah. Kau tidak awesome kalau menangis." Aku mengaku, tidak bisa membuat kalimat indah.

   "Tapi--tapi... Dia begitu berharga bagiku! Dia... hiks...hiks.." Pelukannya semakin erat. Hatiku tertusuk mendengar kata berharga. Hei, Liz, memang bagimu aku tidak berharga?

   "Ma-masih banyak laki-laki lain yang mau sama kamu. Sudahlah, lupakan saja dia. Dia sering menyakitimu, bukan?" Aku mulai membelai rambutnya. Kata Francis, bila perempuan sedang menangis, kita dapat menghiburnya dengan mengelus rambutnya atau memeluknya. Aku berharap Francis tidak bohong padaku.

   "Gil! Roderich Edelstein, adalah satu-satunya orang yang kucintai! Orang yang akan kunikahi suatu hari nanti! Tidak ada--dan tidak boleh ada laki-laki lain bagiku." Matanya bertemu denganku. Ada luka perih yang sangat dalam kurasakan di hatiku--tidak, di seluruh tubuhku. Perih karena mengetahui dari mata Elizaveta Herdevary, bahwa gadis itu benar-benar mencintai seseorang.

   Perih lagi karena tahu, bahwa orang itu bukan aku.

   Elizaveta menundukkan wajahnya. Seperti ingin menikmati setiap air mata yang jatuh dari zamrudnya. Aku merasa tubuhku bergetar. Marah karena si aristokrat sial itu seenaknya saja membuat Liz menangis direndahkan seperti ini. Kesal karena aku tahu, Elizaveta tak akan pernah melihatku. Logika-ku melayang, hati-ku berubah menjadi sang pengendali tubuh. Kuangkat wajah Elizaveta, mendekatkannya pada wajahku. Aku tidak tahu sama sekali apa yang terjadi dengan tubuhku.

   Yang kutahu adalah, saat aku tersadar, bibirku sudah bertemu dengan bibirnya.

   Aku tidak menghitung berapa detik atau menit, waktu yang kuhabiskan untuk menciumnya. Tapi aku yakin, Elizaveta sama sekali tidak menolakku. Saat kuhentikan ciuman itu, aku berpaling dari Elizaveta. Badannya masih ada di pelukkanku. Bodoh sekali kau, Gilbert. Jelas-jelas dia sedang terluka, tapi kau malah berubah jadi cowok hidung belang.

   "...Gil..bert? Yang tadi itu... apa?'

   Setelah menelan ludah, aku menjawabnya "Maaf. Maafkan aku, Liz. Aku tidak bermaksud untuk melakukan itu. Aku tidak mengerti, t-tubuhku bergerak seenaknya... Maaf."

   Tidak ada jawaban. 5 menit berlalu, yang ada hanya suara hembusan nafas darinya. Dan, yah, dia tertidur. Tidur seenaknya di bahuku. Bajuku basah karena air matanya. Kurasa aku tidak akan mencuci baju ini selama-lamanya.

   Kuputuskan untuk menggendongnya, mengantarnya pulang. Rumahnya tidak jauh dari rumahku. Hanya 7 blok, dan sampailah pada rumah bertingkat dua dengan taman kecil di depannya. Seperti yang kuduga, Ibu Eliza heran ketika melihatku menggendong anak tunggalnya.

   "Lho, Gilbert. Elizaveta kenapa?" Ia ikut membantuku menurunkan Elizaveta dari punggungku. Kini Elizaveta tidur pulas di sofa. Wajahnya bagaikan anak kecil, polos dan manis waktu tidur. Air mata masih membekas di pipinya.

    "Gilbert, jawab tante, ah. Masa' dari tadi mandang Eliza terus..."

    Aku tersentak, "Ah, maaf tante. Tadi Liz nonton drama di rumahku, sampai ketiduran dia, haha." Bohong itu kadang diperlukan. "Oh, gitu... Mau minum teh sebentar, Gil'?" tawar Ibu Eliza.

    "Maaf, tapi aku ada janji dengan teman-temanku." Bohong yang kedua.
    "Oh, iya. Tante bisa titip ini ke Elizaveta? Hari ini Valentine kan?. Coklat persahabatan." Kuserahkan coklat kecil dari saku. Sambil tersenyum palsu, menggenggam erat coklat lingkaran di kantong jaketku.

    "Hoo... Oke. Nanti tante kasih ke dia. Dia dapet dari Edelstein juga gak ya? Hahaha." Jadi orang ini belum tahu kalau Roderich dan anaknya sudah berakhir. Jangan-jangan aku yang pertama kali tahu bahwa Eliza putus? Uh, tidak mungkin. Bisa saja Bella atau Natalia yang menjadi teman curhat pertamanya. "Ya sudah, aku pamit dulu, tante." Aku melambaikan tangan dan berjalan cepat pulang ke rumah.

***

   Sendirian di rumah, sambil menonton TV dan makan snack murahan. Tetap saja ingatanku akan beralih pada Elizaveta. Sungguh, aku mencintainya, sekalipun aku tahu aku tidak akan pernah mendapatkan hatinya.
Aku benar-benar kehilangan tujuan hidup.

   Mau tidak mau, gadis itu harus kulupakan. Aku mengambil coklat lingkaran putih dari kantong jaketku. Kubuka kotaknya. Ini sebagai tanda bahwa aku harus melupakannya. Dimulai dari sekarang.

Gigitan pertama, luka itu kembali terbuka.

Gigitan kedua, semakin terasa nyeri.

Gigitan ketiga, luka semakin lebar, rasa perih menyebar.

Gigitan keempat, luka semakin dalam.

Gigitan kelima, air mataku keluar.

  Rasa coklat itu berubah dengan tercampurnya air mata. Kugigit kasar, persetan dengan rasanya. Mulutku bergerak mengeluarkan suara, "Maaf. Maafkan aku, Liz. Aku enggak bisa membuatmu bahagia. Aku hanya orang egois yang gak pantas bersamamu. Maaf, Liz. Maaf... Aku tidak akan mengganggumu... dengan Roderich la...gi"

   Badanku terasa berat. Kulemparkan diriku pada sofa, mencoba tidur dan melenyapkan semua pikiran yang mengganggu. Melupakan semua kejadian yang kualami tadi. Melupakan seseorang gadis yang kucintai selama 10 tahun.

Melupakan seorang gadis, yang memang pada dasarnya tidak boleh kucintai.

End

**omake**

Elizaveta terbangun dari 13 jam tidurnya. Mengangkat tubuhnya, menghadap cermin besar di kamarnya.
Ia terdiam sesaat, mengingat-ingat urutan kejadian yang ia alami kemarin.

Tiba-tiba pipinya merona. Ia menyentuh bibirnya dengan ujung jarinya.
Senyum samar terlihat di bibirnya.
"Gilbert..."

**end of omake**

AN :

INI APA COBAAA??
HELL, I WANT TO DIE RIGHT NOW ASDGHGHJ.
Fanfic pertama yang gue upload ke dunia cyber ='))
Duh, masih abal banget.
Alurnya kecepetaan..aakkkh
Rencana mau buat fluff, ujungnya malah jadi angst D":
Maafkan aku, Gilbert. Aku membuatmu menderita di sini ;w;

Gilbert : IYA NIH, Author bangke! Masa gue OOC nya kebangeten!

Maaf, tuan awesome.
Saya kan masih newbie QAQ"

Gilbert : Newbie ga awesome!

Tidak ada kentang untukmu.
Akan kuberikan pada Ludwig.

Gilbert : H-Heey! Iya, deh, iya. Kau newbie. Jadi harus maklum. Nah, mana kentang gue?

Dasar, baiknya kalo ada maunya aja ="=
Huh. *kasih kentang*

Nah, minna-san,
gimana menurut kalian?
Abal ya.
Typo pasti ada ;_;
Jujur, gue masih ga berani upload ke FFn.
Masih ngeri.

Okay,
jumpa lagi di lain hari~


 

No comments:

Post a Comment